Sedikitnya 120 kasus gizi buruk dan gizi kurang yang ditemukan relawan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Mitra Indonesia bersama jajaran para medis di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pasca tsunami melanda daerah itu 25 Oktober 2010.

Temuan kasus belita gizi buruk dan gizi kurang itu, terungkap ketika relawan kemanusiaan LSM Mitra Indonesia melakukan survei dan pendataan di sepuluh titik pasca tsunami, jelas Dr. Louisa A. Langi MSi di Dusun Rua Monga, Desa Muara Taikakok, Pagai Utara, Kamis.

Dosen Kedokteran di salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta itu, merinci, tercatat sebanyak 40 kasus gizi buruk dan 80 kasus gizi kurang.

Satu di antara penderita gizi buruk berumur dua tahun meninggal dunia, setelah sempat di rawat pada Puskesmas Pagai Utara, Kepulauan Mentawai.

Menurut dia, banyak temuan gizi buruk di Mentawai pasca bencana tsunami, namun tahap awal saat relawan kemanusian yang bergerak di bidang medis, terkesan pemerintah daerah setempat terkesan menutup-nutupi.

Namun, setelah berbagai upaya pendekatan dilakukan kepada instansi pemerintah setempat, akhirnya sudah bisa terjalin kerjasama antara relawan kemanusian dengan pemerintah setempat.

Anak-anak itu mesti ditolong dan kami butuh data statistik yang jelas. Tapi data itu terkadang ditutup-tutupi pemerintah Mentawai.

"Kami di sini menjalankan misi kemanusiaan," jelas Louisa didampingi dokter Puskesmas setempar, Angela Puspita kepada wartawan seusai serah terima 80 unit Huntara dari BNPB ke Pemkab setempat di Dusun Rua Monga.

Jadi, pihaknya meminta saling membahu dalam menangani kasus gizi kurang dan gizi buruk itu, dan tidak ada maksud lain dari relawan untuk menyampaikan kondisi yang sebenarnya kepada publik.

Ia menjelaskan, kasus banyak ditemukan di Pagai Utara, Pagai Selatan, dusun Silabu, Bitumonga, Bulok, Munte Baru-baru, Malakopak dan sejumlah lokasi lainnya.

Upaya untuk memantau kondisi masyarakat setempat, mereka satu sama lainnya mengunjungi dusun dan desa-desa tempat korban gempa dan tsunami menetap sementar, meski dalam keadaan cuaca yang ekstrim sekalipun.

Petugas kesehatan masih dibutuhkan hingga saat ini karena yang tinggal bersama masyarakat di Huntara masih kurang, mulai dari dokter, bidan, perawat dan lainnya.

Sementara di Sikakap terdapat 10 titik posko kesehatan, di masing-masing titik itulah korban gempa dan tsunami tersebut mendapatkan pelayanan kesehatan.

"Benar dari data yang kami temukan, hanya satu korban gizi buruk meninggal dunia," kata Kabid Pengendalian Penyakit Penyehatan Lingkungan (P2PL), Kabupaten Mentawai Budi Andri, kepada wartawan di KM 5,5 Pagai Utara tersebut.

Menurut dia, terkadang temuan relawan terdapat juga perbedaan dengan temuan tim para medis kesehatan setempat, namun tujuan sama.

Sementara itu, untuk indikator gizi buruk mesti dilihat dari berat dan tinggi badan serta umur penderitanya, tidak bisa ditebak-tebak secara kasat mata dan butuh komunikasi yang intens dari orangtua korban.

Justru itu, dalam melakukan pendataan kepada para korban tsunami melalui komunikasi yang intens, sebab tidak mudah dan dibutuhkan kehati-hatian.

Terkait, satu saja salah cara komunikasi akan salah artinya, makanya menggunkan jasa petugas yang asli orang Mentawai, dengan begitu mereka bisa mengetahui kondisi yang sebenarnya.

Menurut Budi, petugas kesehatan setempat melakukan survei pada 200 bayi dan balita, dan kondisi mereka sekarang ini mulai membaik, karena diberikan makanan pendamping.

"Perkembangan mereka juga dipantau oleh petugas yang ada di sepuluh titik Huntara," katanya sembari menambahkan, jenis penyakit lainnya Inspeksi saluran pernapasan akut (ISPA), penyakit kulit dan lainnya yang rata-rata terdapat 10 hingga 15 pasien.

Kondisi itu, tentu disebabkan sejumlah faktor di antaranya, karena cuaca, sanitasi, MCK yang kurang baik selama dipengungsian dan di Huntara.

Sementara, Angela Puspita seorang dokter yang bertugas di puskesmas Mentawai menambahkan, korban gizi buruk yang meninggal tersebut berusia 2 berumur 2 tahun.

Kondisi korban saat ditangani sangat memprihatinkan, karena balita perempuan itu hanya diberi air putih dan makan yang tidak layak oleh ibunya.

"Kami sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk bayi di Taikakok, namun nyawanya tidak terselamatkan. Karena memang kondisinya sangat buruk," kata Angela.

Ia menjelaskan, penderita gizi buruk di Taikako tersebut merupakan satu dari 40 penderita gizi buruk korban gempa dan tsunami Mentawai. Namun setelah mendapatkan penanganan yang serius dari tenaga kesehatan yang bertugas di Mentawai selama dua bulan, kondisi mereka mulai membaik.

"Sekarang ini kondisi mereka mulai membaik. Karena perkembangan anak-anak itu selalu kami pantau," terang Angela dan menuturkan, bertugas di Mentawai tidaklah mudah, karena dihadapkan oleh cuaca yang ekstrim. Apalagi satu desa atau dusun lainnya mesti melewati lautan. Demikian catatan online Blogger Pontianak tentang Sedikitnya 120 kasus gizi buruk dan gizi kurang.